![]() |
| Source: Pixabay |
Suatu ketika saya membaca buku nonfiksi tentang transhumanisme untuk riset novel scifi, dan saya menemukan konsep menarik ini. Pada dasarnya semua orang ingin bahagia, atau setidaknya ingin mengakhiri penderitaan yang mereka alami. Secara umum orang menderita karena ada kebutuhan atau hasrat yang tidak terpenuhi. Karena itu, untuk "menyelamatkan" dirinya, ada dua pilihan:
1. Superhuman Approach
Superhuman approach, atau pendekatan manusia super, ialah cara memenuhi hasrat dan impian dengan meningkatkan kualitas diri, entah itu fisik (kesehatan, kekuatan, kekebalan terhadap penyakit, dsb) atau mental (tahan stres, tahan depresi, anti malas, dsb). Lebih jauh lagi, beberapa bahkan menginginkan hal yang lebih jauh seperti keabadian (immortality), cybernetic organism (cyborg), atau apa pun yang melampaui batas tubuh daging mereka.
2. Posthuman Approach
Posthuman approach (pendekatan posthuman) ialah pendekatan yang mengubah secara radikal sifat alami manusia. Pendekatan ini berasumsi, jika kita menderita karena hasrat kita sendiri, kenapa tidak kita hilangkan saja hasrat tersebut? Secara alami, manusia adalah makhluk yang tak pernah puas. Dengan bantuan teknologi, manusia bisa direkayasa sedemikian rupa--baik dengan menyunting gen maupun dengan mengunggah pikiran ke superkomputer (mind-uploading)--sehingga keinginannya bisa diatur sedemikian rupa atau dihilangkan sama sekali. Apabila berhasil, manusia tidak perlu merasakan penderitaan akibat hasratnya sendiri.
Dilema
Akan tetapi, kedua pendekatan di atas terhalang oleh paradoks. Pendekatan superhuman mungkin bisa "menyelamatkan" dirinya dari kesulitan yang dihadapi orang normal. Misal, orang tak perlu takut sakit kalau dia kebal dari segala penyakit. Atau orang tak perlu takut jomlo seumur hidup kalau dia selalu cantik/ganteng, jenius, dan punya kemampuan (baik bakat pribadi maupun sosial) yang luar biasa. Namun, pendekatan ini tak bisa menyelamatkan manusia dari hawa nafsu. Karena manusia tak pernah puas, kita tetap akan meminta lebih meskipun impian kita terpenuhi. Bahkan keabadian tidak membuat orang berhenti menderita selama hasrat itu tetap ada.
Lalu bagaimana kalau hasrat itu dihilangkan, seperti pendekatan posthuman? Ya, mungkin itu mampu menyelamatkan manusia dari hasratnya, tapi gagal menyelamatkan manusia sebagai "manusia". Orang mungkin bakal selalu puas, nyaman, tenteram, apa pun yang terjadi. Namun, perubahan sifat yang begitu radikal membuat identitas seseorang sebagai manusia akan hilang, menjadikannya makhluk yang secara fundamental berbeda dari manusia (aka posthuman).
Susah dibayangkan? Coba lihat orang amnesia. Memori adalah salah satu aspek yang mendefinisikan kepribadian kita. Kehilangan sedikit saja membuat persepsi kita dan orang lain terhadap kita menjadi berubah. Orang sebelum amnesia bahkan bisa jadi jauh berbeda dibanding sesudah amnesia. Apalagi jika seluruh hasrat yang menyebabkan kita berjuang, bertahan hidup, berkreasi, dan mengembangkan teknologi dihilangkan. Apa itu masih bisa disebut manusia?
Meskipun ada sedikit sifat manusia yang masih tersisa, apa gunanya
menyelamatkan diri dari penderitaan jika identitas yang lama hilang? Jika kita hanya segumpal daging
tanpa kreasi dan inovasi, atau sekumpulan data yang dikelola
superkomputer tanpa ciri-ciri fisik, apa bedanya manusia dengan AI? Jika DNA kita sudah jauh berbeda dengan DNA manusia, bakal jadi makhluk seperti apa kita nanti?
Itulah salvation paradox. Dengan teknologi orang bisa mengembangkan dirinya sedemikian rupa hingga jadi manusia super, atau jadi entitas tak tergambarkan yang tak lagi memiliki sifat manusia. Keduanya terbentur pada permasalahan yang sama. Keduanya "gagal" dalam menyelamatkan manusia dan kemanusiaannya. Namun, apa itu artinya perkembangan teknologi menemui jalan buntu pada persoalan ini? Atau ada jalan lain untuk memecahkannya?
Atau mungkin, salvation paradox hanyalah dilema yang sesat logika?
***
Referensi
Mercer, C. (2015). Religion and Transhumanism: The Unknown Future of Human Enhancement. New York: Bloomsbury Publishing.

0 komentar: